TUGAS
KEPERAWATAN
JIWA AUTIS
OLEH
:
ARIF SAIFUDDIN INDRA P
NIM.
130011004
PRODI
S1
KEPERAWATAN/IVA
UNIVERSITAS
NAHDALATUL ULAMA SURABAYA
2014-2015
KATA PENGANTAR
Dengan
Memanjatkan puji syukur atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahNya, serta dukungan dari semua yang penulis
cintai, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “AUTIS”.
Adapun salah satu maksud dan tujuan
dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi nilai tugas kami.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
saran dan keritik yang sifatnya membangun sangat diharapkan.
Semoga makalah ini bermanfaat
bagi pembaca pada umumnya dalam hal menambah ilmu dan wawasan para pembacanya.
Gresik,
9 Februari 2015
ARIF SAIFUDDIN INDRA P
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI ....................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN..............................................................................................................4
BAB II
PEMBAHASAN.................................................................................................................6
1. Apakah definisi dari
autisme.................................................................................6
2. Ada berapa
pengelompokan autisme.......................................................................7
3. Bagaimana etiologi
autisme
.................................................................................8
4. Bagaimana
karakteristik autisme...........................................................................13
5. Bagaimana
penatalaksanaan autisme.....................................................................17
6. Bagaimana askep
autisme....................................................................................23
BAB III
PENUTUP.........................................................................................................................28
Kesimpulan.......................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Autisme sebuah sindrom gangguan
perkembangan sistem syaraf pusat yang ditemukan pada sejumlah anak ketika masa
kanak – kanak hingga masa – masa sesudahnya. Ironisnya, sindrom tersebut
membuat anak – anak yang menyandangnya tidak mampu menjalin hubungan sosial
secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin komunikasi dua arah
(Wijayakusuma, 2004)
Varian symptom yang dimiliki oleh
setiap anak dengan sindrom autisme berbeda – beda. Ada varian symptom yang
ringan dan ada juga yang berat. Akan tetapi, secara umum dapat dispesifikasikan
kedalam tiga hal yang mencakup kondisi mental, kemampuan berbahasa serta usia
si anak.
Sebagai sindrom, autisme dapat
disandang oleh seluruh anak dari berbagai tingkat sosial dan kultur. Hasil
survai yang diambil dari beberapa negara menunjukan bahwa 2 – 4 anak per 10.000
anak berpeluang menyandang austime dengan rasio perbandingan 3 : 1 untuk anak
laki – laki dan perempuan. Dengan kata lain, anak laki – laki lebih rentan
menyandang sindrom autisma dibandingkan anak perempuan. Bahkan diprediksikan
oleh para ahli bahwa kuantitas anak autisme pada tahun 2010 akan mencapai 60 %
dari keseluruhan populasi anak di seluruh dunia.
Survei menunjukkan, anak-anak
autisme lahir dari ibu-ibu kalangan ekonomi menengah keatas. Ketika dikandung
asupan gizi ke ibunya tidak seimbang.
Sejak autisme mulai dapat dijabarkan
dan dikenal mendunia, berbagai jenis penyembuhan telah dilakuan. Beberapa
implementasi penyembuhan tersebut bukan hanya bersifat psikis, tetapi juga
fisik, mental, emosional hingga fisiologis. Tetapi penyembuhan yang
diterapkanpun dilakukan dengan berbagai varian teknik, diantaranya teknik
belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara verbal maupun non verbal.
Dari beberapa jenis terapi yang telah
diimplementasikan secara meluas, ada yang melibatkan peran serta orang tua dan
ada juga yang tidak. Ada yang dapat dilakukan sendiri oleh orang tua dirumah
dan ada juga terapi yang memerlukan bantuan sejumlah ahli atau terapis. Inti
dari sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir berbagai symptom
yang diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang tentunya dapat disesuaikan
dengan kebutuhan dan tingkatan sindrom yang disandang anak.
Yang terpenting, terapi yang
diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya tetap melibatkan peran serta
orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang tua merasa memiliki andil
atas kemajuan yang dicapai anak autisma mereka dalam setiap fase terapi. Dengan
kata lain, orang tua tidak hanya memasrahkan perbaikan anak autisme kepada para
ahli atau terapis tetapi juga turut menentukan tingkat perbaikan yang perlu
dicapai oleh sianak. Dengan demikian, akan terbentuk suatu ikatan emosional
yang lebih kuat antara orang tua dengan anak autismenya dan hal ini diharapkan
akan mendukung perkembangan emosional dan mental si anak menjadi lebih baik
dari sebelumnya.
Yang melatar belakangi pembuatan
askep yang berjudul autisme yaitu adanya penugasan dari dosen mata kuliah
keperawatan jiwa dan keingintahuan kami mengenai konsep dasar dan askep autisme
itu sendiri.
1.2 Runusan
Masalah
1.
Apakah definisi dari autisme ?
2. Ada
berapa pengelompokan autisme ?
3.
Bagaiman etiologi autisme ?
4.
bagaimana karakteristik autisme ?
5.
Bagaimana penatalaksanaan autisme ?
6.
bagaimana askep autisme ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Tujuan umum
·
Pembaca dapat memahami mengenai konsep dasar dan askep
autisme.
2.
Tujuan khusus
Setelah membaca askep ini, pembaca mampu :
·
Menjelaskan definisi dari autisme
·
Menjelaskan pengelompokan autisme
·
Menjelaskan penatalaksanaan autisme
·
Menjelaskan karakteristik autisme
·
Menjelaskan etiologi autisme
·
Menjelaskan askep autisme
BAB II
KONSEP TEORI
2.1 Definisi
Autisme adalah
suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita,
yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya
anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif.
Autisme masa
kanak-kanak dini adalah penarikan diri dan kehilangan kontak dengan realitas
atau orang lain. Pada bayi tidak terlihat tanda dan gejala.
Autisme adalah
sebuah sindrom gangguan perkembangan sistem syaraf pusat yang ditemukan pada
sejumlah anak ketika masa kanak – kanak hingga masa – masa sesudahnya.
Ironisnya, sindrom tersebut membuat anak – anak yang menyandangnya tidak mampu
menjalin hubungan social secara normal bahkan tidak mampu untuk menjalin
komunikasi dua arah
2.2 Pengelompokan
Autisme
Dr. Faisal
Yatim mengelompokan autisme menjadi 3 kelompok, yaitu :
1.
Autisme Persepsi
Autisme ini dianggap sebagai autisme asli dan disebut
autisme internal karena kelainan sudah timbul sebelum lahir.
2.
Autisme Reaksi
Autisme ini biasanya mulai terlihat pada anak – anak
usia lebih besar (6 – 7 tahun) sebelum anak memasuki memasuki tahap berfikir
logis. Tetapi bisa juga terjadi sejak usia minggu – minggu pertama. Penderita
autisme reaktif ini bisa membuat gerakan – gerakan tertentu berulang – ulang
dan kadang – kadang disertai kejang – kejang.
3.
Autisme yang Timbul Kemudian
Faisal Yatim pun memberikan tip – tip untuk mengelola
penderita anak autisme, berikut ini :
o Menentukan
terlebih dulu masalah penyimpangan perilaku dan perilaku yang mana kira – kira
yang perlu ditingkatkan
o Menentukan
berapa seringnya penyimpangan perilaku tersebut
o Menentukan apa
faktor pencetus timbulnya penyimpangan perilaku tersbut
o Menentukan
perubahan mana yang perlu untuk meningkatkan atau mengurangi penyimpangan
perilaku
o Meyakinkan dan
mengusahakan agar semua pihak yang terlibat ikut peduli dengan program tersebut
o Memeriksa dan
mengusahakan agar semua program yang direncanakan bisa berjalan dengan
konsisten
o Mengadakan
penilaian program secara teratur dan jangan terlalu mengharapkan hasilnya dalam
waktu singkat
o Mengadakan
modifikasi atau menghentikan program setelah hasil yang anda harapkan tercapai,
ingat, beberapa jenis kelainan perilaku tidak mudah untuk diubah. Salah seorang
ahli manganjurkan 3 bulan setelah program dilaksanakan baru dilakukan penilaian
apakah berhasil atau gagal
o Memberikan
permainan rutin dan tetep merupakan jenis pengobatan bagi anak autisme, yang
bisa mengurangi kecemasan dan meningkatkan rasa aman dalam dunianya
o Bergaul akrab
dengan penderita, menuntun dalam berjalan, misalnya waktu berekreasi juga
dianjurkan oleh para professional. Pengobatan secara psikologi dan bermain
termasuk yang dianjurkan.
2.3 Etiologidan
Patofisiologi
Danuatmaja (2003) menyebutkan beberapa hal yang diduga menjadi faktor penyebab
terjadinya autisme, yaitu antara lain:
a. Gangguan
Susunan Saraf Pusat
Ditemukan kelainan neuroanatomi (anatomi susunan saraf
pusat) pada beberapa tempat didalam otak anak autis. Banyak anak autis
mengalami pengecilan otak kecil, terutama pada lobus VI-VII. Seharusnya,
dilobus VI-VII banyak terdapat sel purkinje. Namun, pada anak autis
jumlah sel purkinje sangat kurang. Akibatnya, produksi serotonin kurang,
menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar-otak. Selain itu,
ditemukan kelainan struktur pada pusat emosi di dalam otak sehingga emosi anak
autis sering terganggu. Penemuan ini membantu dokter menentukan obat yang lebih
tepat. Obat-obatan yang banyak dipakai adalah dari jenis psikotropika yang
bekerja pada susunan saraf pusat. Hasilnya menggembirakan karena dengan
mengkonsumsi obat-obatan ini pelaksanaan terapi lainnya lebih mudah. Anak lebih
mudah untuk diajak bekerja sama.
a.
Gangguan Sistem Pencernaan
Ada hubungan gangguan pencernaan dengan gejala autis. Tahun 1997, seorang
pasien autis, Parker Beck, mengeluhkan gangguan pencernaan yang sangat buruk.
Ternyata, ia kekurangan enzim sekretin. Setelah mendapat suntikan sekretin,
Beck sembuh dan mengalami kemajuan yang luar biasa (Budhiman, 2002). Kasus ini
memicu penelitian-penelitian selanjutnya pada gangguan metabolism pencernaan.
b. Peradangan
Dinding Usus
Berdasarkan pemeriksaan endoskopi atau peneropongan
usus pada sejumlah anak autis yang memiliki pencernaan buruk ditemukan adanya
peradangan usus pada sebagian besar anak (Budhiman, 2002). Dr. Andrew ahli
pencernaan asal Inggris, menduga peradangan tersebut disebabkan virus, mungkin
virus campak. Itu sebabnya, banyak orangtua yang kemudian menolak imunisasi MMR
(measles, mumps, rubella) karena diduga menjadi biang keladi autis pada
anak. Temuan Wakefield diperkuat sejumlah riset ahli medis lainnya.
Namun teori ini hingga sekarang masih kontroversial mengenai vaksinasi MMR yang
diberikan pada usia 15 bulan, juga teori penggunaan antibiotik, stres, merkuri
dan berbagai toksin yang ada di lingkungan. Tetapi semua mungkin hanya
merupakan pemicu saja, yang bias terjadi pada anak yang sudah mempunyai riwayat
genetik. Di antara berbagai teori tersebut, teori yang berhubungan dengan diet
sampai sekarang masih ramai dibicarakan (Sari, 2009).
a.
Faktor genetika.
Ditemukan 20 gen yang terkait dengan autisme. Namun,
gejala autisme baru muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. bias saja autisme
tidak muncul, meski anak membawa gen autisme. Jadi perlu faktor pemicu
lain.Hasil penelitian terhadap keluarga dan anak kembar menunjukkan adanya
faktor genetik yang berperan dalam perkembangan autisme. Pada anak kembar satu
telur ditemukan sekitar 36 – 89 %, sedang pada anak kembar dua telur 0 %. Pada
penelitian terhadap keluarga ditemukan 2,5 – 3 % autisme pada saudara kandung,
yang berarti 50 - 100 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi normal
(Masra, 2002)
b.
Keracunan logam berat.
Berdasarkan tes laboratorium yang dilakukan pada
rambut dan darah ditemukan kandungan logam berat dan beracun pada banyak anak
autis. Diduga, kemampuan sekresi logam berat dari tubuh terganggu secara
genetik. Penelitian selanjutnya menemukan logam berat seperti arsenik (As),
antimoni (Sb), kadmium (Cd), raksa (Hg), dan timbal (Pb) adalah racun otak yang
sangat kuat. Tahun 2000, Sallie Bernard, ibu dari anak autis, menunjukan
penelitiannya, gejala yang diperlihatkan anak-anak autis sama dengan keracunan
merkuri. Dugaan ini diperkuat dengan membaiknya gejala autis setelah anak-anak
mlakukan terapi kelasi (merkuri dikeluarkan dari otak dan tubuh mereka)
(Budhiman, 2002)
c.
Alergi.
Beberapa penelitian menunjukkan keluhan autisme
dipengaruhi dan diperberat oleh banyak hal, salah satunya karena manifestasi
alergi. Dari penelitian yang pernah dilakukan, dilaporkan bahwa autisme
berkaitan erat dengan alergi (Judarwanto, 2004).
Penelitian lain menyebutkan
setelah dilakukan eliminasi makanan beberapa gejala autisme tampak membaik
secara bermakna. Hal ini dapat juga dibuktikan dalam beberapa penelitian yang
menunjukkan adanya perbaikan gejala pada anak autisme yang menderita alergi,
setelah dilakukan penanganan eliminasi diet alergi. Beberapa laporan lain mengatakan
bahwa gejala autisme semakin memburuk bila manifestasi alergi muncul
(Judarwanto, 2004).
a.
Teori disfungsi metabolik. Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai makanan,
dan dilaporkan bahwa komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya gangguan
tingkah laku pada pasien autis. Makanan yang mengandung amino phenolic
itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang, apel. Sebuah
publikasi dari Lembaga Psikiatri Biologi menemukan bahwa anak autis mempunyai
kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak
tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino phenolic. Komponen amino
phenolic merupakan bahan baku pembentukan neurotransmiter; jika
komponen tersebut tidak dimetabolisme baik akan terjadi akumulasi katekolamin
yang toksik bagi saraf.
b.
Teori infeksi kandida.Ditemukan beberapa Strain candida di saluran
pencernaan dalam jumlah sangat banyak saat menggunakan antibiotik yang
nantinya akan menyebabkan terganggunya flora normal anak. Laporan menyebutkan
bahwa infeksi Candida albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast dan karbohidrat, karena pada
makanan tersebut Candida dapat tumbuh subur. Makanan jenis ini
dilaporkan menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan
adanya hubungan antara beratnya infeksi Candida albicans dengan
gejala-gejala menyerupai autis, seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah
laku dan penurunan kontak mata. (Adams and Conn, 1997). Tetapi Dr Bernard Rimland,
seorang peneliti terkemuka di bidang autis, mengatakan bahwa sampai sekarang
hubungan antara keduanya kemungkinannya masih sangat kecil.
c.
Teori kelebihan opiod dan hubungan gluten dan protein kasein. Teori ini
mengatakan bahwa pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak
sempurna. Kedua protein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari
kedua protein tersebut terserap ke dalam aliran darah dan menimbulkan efek
morfin di otak anak. Di membran saluran cerna kebanyakan pasien autis ditemukan
pori-pori yang tidak lazim, yang diikuti dengan masuknya peptida ke dalam
darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan
dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah
laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan kasein menurunkan kadar peptida opioid
serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Dengan demikian
implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh kesembuhan
pasien.
Protein gluten
terdapat pada terigu, sereal, gandum yang biasa dipakai dalam pembuatan bir
serta gandum hitam sedangkan protein kasein ditemukan mempunyai aktivitas opiod
saat protein tidak dapat dipecah.
Dari penelitian Whiteley, Rodgers, Savery dan Shattock
(1999), 22 anak autis mendapat diet bebas gluten selama 5 bulan dibandingkan
dengan 5 anak autis yang tetap diberi diet mengandung gluten dan 6 pasien autis
yang digunakan sebagai kelompok kontrol. Setelah 3 bulan, pada diet bebas
gluten terjadi perbaikan verbal dan komunikasi non verbal, pendekatan afektif,
motorik, dan kemampuan anak untuk perhatian serta tidur jadi lebih baik.
Sedangkan pada kelompok makanan yang masih mengandung gluten justru semuanya
memburuk. Meskipun penelitian ini masih menggunakan jumlah pasien yang sangat
kecil, tapi cukup bisa diterima sampai sekarang.
Pentingnya penanganan diet pada pasien autis tak kalah
pentingnya dari farmakoterapi dan fisioterapi, untuk itulah masalah alergi
makanan pada anak dengan gangguan spektrum autisme harus dilakukan secara
holistik.
Prevalensi atau peluang timbulnya penyakit autisme
semakin tinggi. Dua puluh tahun yang lalu hanya 2 sekitar 1 dari 10.000 anak
kena autis. Lima tahun yang lalu 1 dari 1000, satu tahun yang lalu 1 dari 166
anak, dan saat ini 1 dari 150 anak atau setiap tahun timbul sekitar 9000 anak
autis baru (Dwinoto, 2008).Di Indonesia yang berpenduduk 200 juta, hingga saat
ini belum diketahui persis jumlah anak autis namun diperkirakan dapat mencapai
150 -200 ribu orang. Perbandingan laki dan perempuan 4 : 1, namun pasien anak
perempuan akan menunjukkan gejala yang lebih berat.Sebagai sindrom, autisme
dapat disandang oleh semua anak dari berbagai tingkat sosial dan kultur. Hasil
survai dari beberapa Negara menunjukkan bahwa 2 - 4 anak per 10.000 anak
berpeluang menyandang autis dengan rasio 3 : 1 untuk anak laki-laki dan
perempuan; anak laki-laki lebih rentan menyandang sindrom autisme dibandingkan
anak perempuan (Sari, 2009).Anak laki-laki memiliki hormon testosteron yang
mempunyai efek yang bertolak belakang dengan hormon estrogen pada perempuan,
hormon testosteron menghambat kerja RORA
(retinoic acid-related orphan
receptor-alpha) yang berfungsi mengatur fungsi otak, sedangkan estrogen
meningkatkan kinerja RORA (Darmawan,
2009).
2.
Gejala
Secara umum ada beberapa gejala autisme, yang akan
tampak semakin jelas saat anak mencapai usia 3 tahun, yaitu:
a.
Gangguan dalam komunikasi verbal maupun non verbal seperti terhambat bicara,
mengeluarkan kata-kata dalam bahasanya sendiri yang tidak dapat dimengerti, echolalia, dan ssering meniru dan
mengulang kata tanpa ia mengerti maknanya.
b.
Gangguan dalam interaksi sosial, seperti menghindar kontak mata, tidak melihat
jika dipanggil, menolak untuk dipeluk, dan lebih suka bermain sendiri.
c.
Gangguan pada bidang perilakuyang terlihat dan adanya perilaku yang berlebih
(excesive) dan kekurangan (deficient), seperti impulsive, hiperaktif,
repetitive, namun dilain waktu terkesan pandangan yang sama dan monoton.
Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu, seperti gambar, karet, dan
lain-lain, yang dibawanya kemana-mana.
d.
Gangguan pada bidang perasaan/emosi, seperti kurangnya empati, simpati dan
toleransi. Kadang-kadang tertawa dan marah sendiri tanpa sebab yang nyata dan
sering mengamuk tanpa kendali bila tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
e.
Gangguan dalam persepsi sensoris seperti mencium-cium dan menggigit mainan atau
benda, bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga, tidak menyukai
rabaan dan pelukan, dan seterusnya.
Gejala-gejala tersebut di atas tidak harus ada semua
pada setiap anak autisme, tergantung dari berat ringannya gangguan yang
diderita anak .
Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3)
dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing satu gejala dari (2) dan (3)
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi social yang
timbal balik. Minimal harus ada dua gejala dari gejala – gejala dibawah ini:
a) Tak mampu
menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang,
ekspresi muka kurang hidup, gerak gerik kurang tertuju.
b) Tak bias
bermain dengan teman sebaya.
c) Tak ada
empati
d) Kurang mampu
mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2. Gangguan kuantitatif dalam bidang komunikasi,
minimal harus ada satu gejala dari gejala dibawah ini :
a)
Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tak
berkembang. Anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal
b)
Bila anak bicara maka bicaranya tidak dipakai untuk
komunikasi
c)
Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-ulang
d)
Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan
kurang dapat meniru.
3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan
diulang-ulang dalam prilaku, minat dan kegiatan, minimal harus ada satu gejala
dari gejala dibawah ini :
a) Mempertahankan
satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan
b) Terpaku pada
satu kegiatan yang ritualistic atau rutinitas yang tak ada gunanya
c) Ada
gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang
d) Seringkali
sangat terpukau pada bagian-bagian benda
4. Sebelum umur 3 tahun tampak adanya keterlambatan
atau gangguan dalam bidang:
a)
Interaksi sosia
b)
bicara dan
berbahasa
c)
cara bermain yang monoton dan kurang variatif
d)
Bukan
disebabkan oleh Rett Syndrome atau gangguan Disintegrasi Masa Kanak
2.4 Karakteristik
Beberapa
atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada
para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan
hingga terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam
komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan
dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan
atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima
perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang
berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Para
penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang
dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada
yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya
sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan
bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit
memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat
individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.
Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat
arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa
dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National Institute
of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan
5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih
lanjut :
1. Anak tidak bergumam
hingga usia 12 bulan
3. Anak tidak
mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu
menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan
kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu
Adanya kelima ‘lampu
merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi
karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak
harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang
dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan
profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.
2.5 Cara
Mengetahui Autisme pada Anak Sejak Dini
Anak mengalami autisme dapat dilihat dengan:
a.
Orang tua harus mengetahui tahap-tahap perkembangan normal.
b.
Orang tua harus mengetahui tanda-tanda autisme pada anak.
c. Observasi
orang tua, pengasuh, guru tentang perilaku anak dirumah, diteka, saat bermain,
pada saat berinteraksi sosial dalam kondisi normal.
Tanda autis berbeda pada setiap interval umumnya :
a.
Pada usia 6 bulan sampai 2 tahun anak tidak mau dipeluk atau menjadi tegang
bila diangkat ,cuek menghadapi orangtuanya, tidak bersemangat dalam permainan
sederhana (ciluk baa atau kiss bye), anak tidak berupaya menggunakan kat-kata.
Orang tua perlu waspada bila anak tidak tertarik pada boneka atau binatan
gmainan untuk bayi, menolak makanan keras atau tidak mau mengunyah, apabila
anak terlihat tertarik pada kedua tangannya sendiri.
b.
Pada usia 2-3 tahun dengan gejal suka mencium atau menjilati benda-benda,
disertai kontak mata yang terbatas, menganggap orang lain sebagai benda atau
alat, menolak untuk dipeluk, menjadi tegang atau sebaliknya tubuh menjadi
lemas, serta relatif cuek menghadapi kedua orang tuanya.
c.
Pada usia 4-5 tahun ditandai dengan keluhan orang tua bahwa anak merasa sangat
terganggu bila terjadi rutin pada kegiatan sehari-hari. Bila anak akhirnya mau
berbicara, tidak jarang bersifat ecolalia (mengulang-ulang apa yang diucapkan
orang lain segera atau setelah beberapa lama), dan anak tidak jarang
menunjukkan nada suara yang aneh, (biasanya bernada tinggi dan monoton), kontak
mata terbatas (walaupun dapat diperbaiki), tantrum dan agresi berkelanjutan
tetapi bisa juga berkurang, melukai dan merangsang diri sendiri.
2.6 Manifestasi
Klinis
Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita
Autisme :
a.
Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang
tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu
dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi
potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan,
permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman.
Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih
dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik
mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa
terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri.
b. Gerakan
tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit,
keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
c. Anak
biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek.
Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak
tercenggang dengan objek mekanik.
d. Perilaku
ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk memelihara
lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi terikat dan
tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat diramalkan .
e.
Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
f.
Kontak mata minimal atau tidak ada.
g.
Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan
menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap
rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon
terkejut terhadap suara keras yang mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas
pada rangsangan lain.
h.
Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada
emosional
i. Menunjukan
echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara,
pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk
bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada
sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j.
Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara
fungsional.
k. Sikap
dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan mata,
wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.
Ciri yang khas pada anak yang austik :
a.
Defisit keteraturan verbal.
b.
Abstraksi, memori rutin dan pertukaran verbal timbal balik.
c.
Kekurangan teori berfikir (defisit pemahaman yang dirasakan atau dipikirkan
orang lain).
Menurut Baron dan kohen 1994 ciri utama anak autisme
adalah:
a.
Interaksi sosial dan perkembangan sossial yang abnormal.
b.
Tidak terjadi perkembangan komunikasi yang normal.
c.
Minat serta perilakunya terbatas, terpaku, diulang-ulang, tidak fleksibel dan
tidak imajinatif.Ketiga-tiganya muncul bersama sebelum usia 3 tahun.
Terapi perilaku yang dikenal di seluruh dunia adalah Applied
Behavioral Analysis yang diciptakan oleh O.Ivar Lovaas PhD dari University
of California Los Angeles (UCLA) (Rudy, 2007). Dalam terapi perilaku, fokus
penanganan terletak pada pemberian reinforcement positif setiap kali anak
berespons benar sesuai instruksi yang diberikan. Tidak ada hukuman (punishment)
dalam terapi ini, akan tetapi bila anak berespons negatif (salah/tidak tepat)
atau tidak berespons sama sekali maka ia tidak mendapatkan reinforcement
positif yang ia sukai tersebut. Perlakuan ini diharapkan meningkatkan
kemungkinan anak untuk berespons positif dan mengurangi kemungkinan ia
berespons negatif (atau tidak berespons) terhadap instruksi yang diberikan
(Muhardi, 2009). Dalam suatu penelitian dikatakan dengan terapi yang
intensif selama 1-2 tahun, anak yang masih muda ini dapat berhasil
meningkatkan IQ dan fungsi adaptasinya lebih tinggi dibanding kelompok anak
yang tidak memperoleh terapi intensif. Bahkan pada akhir terapi sekitar 42%
dapat masuk ke sekolah umum (Gamayanti, 2003). Menurut Sutadi (2003), walaupun
tidak bisa disembuhkan 100 persen, autis dapat dilatih melalui terapi sedini
mungkin sehingga ia bisa tumbuh normal. Alasannya karena hasil penatalaksanaan
terapi setelah usia lima tahun akan berjalan lebih lambat.
Terapi biomedik merupakan penanganan secara biomedis
melalui perbaikan metabolism tubuh serta pemberian obat-obatan oleh dokter yang
berwenang, vitamin dan obat yang dianjurkan adalah vitamin B6, risperidone,
dll (Veskarisyanti, 2008). Sedangkan menurut Handojo (2008), obat- obatan yang
dipakai terutama untuk penyandang autisme, sifatnya sangat individual dan perlu
berhati-hati. Dosis dan jenisnya sebaiknya diserahkan kepada Dokter Spesialis
yang memahami dan mempelajari autisme (biasanya Dokter Spesialis Jiwa Anak).
Baik obat maupun vitamin hendaknya diberikan secara sangat berhati-hati, karena
baik obat maupun vitamin dapat memberikan yang tidak diinginkan. Vitamin banyak
dicampurkan pada nutrisi khusus, karena itu telitilah lebih dahulu sebelum
membeli dan memberikannya kepada penyandang autisme. Terapi biomedik tidak
menggantikan terapi‐terapi yang
telah ada, seperti terapi perilaku, wicara, okupasi dan integrasi sensoris.
Terapi biomedik melengkapi terapi yang telah ada dengan memperbaiki “dari
dalam”. Dengan demikian diharapkan bahwa perbaikan akan lebih cepat terjadi
(Muhardi, 2009).
Integrasi sensoris berarti kemampuan untuk mengolah dan
mengartikan seluruh rangsang sensoris yang diterima dari tubuh maupun
lingkungan, dan kemudian menghasilkan respons yang terarah.
Disfungsi dari integrasi sensoris atau disebut juga
disintegrasi sensoris berarti ketidak mampuan untuk mengolah rangsang sensoris
yang diterima. Gejala adanya disintegrasi sensoris bisa tampak dari :
pengendalian sikap tubuh, motorik halus, dan motorik kasar. Adanya gangguan
dalam ketrampilan persepsi , kognitif, psikososial, dan mengolah rangsang.
Namun semua gejala ini ada juga pada anak dengan diagnosa yang berbeda
(Handojo, 2008).
Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan
dalam perkembangan motorik halus. Gerak‐geriknya
kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang benar,
kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih
mempergunakan otot ‐otot
halusnya dengan benar (Muhardi, 2009).
Psikoterapi merupakan terapi khusus bagi anak autisme
yang dalam pelaksanaannya harus meibatkan peran aktif dari orang tua.
Psikoterapi menggunakan teknik bermain kreatif verbal dan non verbal yang
memungkinkan orang tua lebih mendekatkan diri kepada anak autisme mereka dan
lebih mengenal lagi berbagai kondisi anak secara mendetail guna membantu proses
penyembuhan anak.
a. Diet bebas
gluten dan bebas kasein. Pada umumnya, orangtua mulai dengan diet tanpa gluten
dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan minuman yang mengandung gluten
dan kasein. Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga “rumput”
seperti gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley. Gluten memberi
kekuatan dan kekenyalan pada tepung terigu dan tepung bahan sejenis. Sedangkan
jenis bahan makanan sumber kasein adalah susu sapi segar (mengandung 80%
kasein), susu skim, tepung susu, dan produk olahan susu seperti, keju, mentega,
margarine, krim, yoghurt, es krim (Hariyadi, 2009).
Meskipun masih kontroversial namun teori adanya
kelainan peptida di otak yaitu ditemukannya gliodorphin dan casomorphin,
adanya zat tersebut pada penderita dapat dideteksi dengan pemeriksaan tes
peptida urin dimana ditemukan zat sejenis opioid yang merupakan hasil
pencernaan yang tidak sempurna dari gluten dan kasein (Prabaningrum &
Wardhani, 2008). Hal ini yang mendasari diet bebas gluten dan kasein bagi penyandang
autisme karena gluten dan kasein dapat menjadi racun / toksik bila dikonsumsi
(Veskarisyanti, 2008). Pada orang sehat, mengonsumsi gluten dan kasein tidak
akan menyebabkan masalah yang serius/memicu timbulnya gejala. Pada umumnya,
diet ini tidak sulit dilaksanakan karena makanan pokok orang Indonesia adalah
nasi yang tidak mengandung gluten. Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan
diet khusus biasanya dapat dilihat dalam waktu antara 1‐3 minggu. Menghindari makanan sumber gluten dan kasein
meningkatkan perbaikan 65% anak autis. Apabila setelah beberapa bulan
menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok
dan anak dapat diberi makanan seperti sebelumnya (Muhardi, 2009). Hasil
penelitian oleh Ishak (2008), menyebutkan bahwa terdapat pengaruh pemberian
diet terhadap perkembangan anak autisme. Sedangkan menurut Hyman (2010), tidak
ada efek khusus pada perkembangan prilaku dengan terapi diet bebas gluten dan
kasein dikatakan juga diet gluten dan casein tidak berkaitan dengan sifat
agresif penderita autisme dan kinerja usus mereka, dikarenakan banyak faktor
yang mempengaruhinya, sehingga harus diketahui terapi mana yang paling sesuai
dan efektif pada masing-masing anak. Didalam penelitan Hyman (2010), responden
penelitian tidak mengalami perubahan dalam pola aktivitas dan frekuensi tidur.
Anak-anak menunjukkan peningkatan kecil dalam sosial, bahasa dan minat setelah
diberikan terapi gluten dan kasein dan diukur gejala yang timbul dengan Ritvo
Freeman Real Life Rating Scale namun tidak mencapai signifikansi statistik
b. Diet bebas zat
aditif. Zat aditif terdiri dari pewarna, penambah rasa sintetis,
aspartam, nitrat pada makanan, dan pestisida yang mungkin ada dalam makanan
dapat memperparah keadaan anak autis (Hariyadi, 2009). Contoh bahan makanan
yang mengandung zat aditif adalah sosis, kornet, chicken nugget dan
lain-lain. Beberapa zat pewarna merusak DNA yang menyebabkan mutasi
genetik. Sedangkan zat penambah rasa seperti MSG dapat mempengaruhi
saraf otak (Sunartini, 2003).
c. Diet bebas fenol
dan salisilat. Sejak The Feingold Diet (salah satu jenis pengaturan pola
makan) diperkenalkan banyak orang melihat bahwa salisilat mempunyai efek buruk
bagi penyandang autisme. Bahan makanan yang harus dihindari adalah almond,
apel, tomat, mangga muda dan alpokat. Efek yang dimungkinkan dari bahan makanan
yang mengandung salisilat dapat memperberat kebocoran usus (Budhiman, 2002).
Diet bebas fenol dimaksudkan untuk menghindari jenis bahan makanan yang
memerlukan ion sulfat untuk metabolisme karena dapat memperburuk sistem
pencernaan. Khusus bagi anak autisme, bahan makanan ini berupa jus apel, jus
jeruk, coklat, dan anggur merah (Hariyadi, 2009).
d. Pemberian suplemen
makanan. Selain pengaturan pola makan, disarankan juga untuk mengkonsumsi
berbagai suplemen bagi anak autisme. Suplemen-suplemen tersebut adalah vitamin
C, mineral Zn, enzim, melatonin (semacam hormone untuk memperbaiki jam
biologis tubuh) dan kalsium (Budhiman, 2002).
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1.
Identitas pasien
2.
data subyektif dan obyektif
a. Kegagalan
untuk membentuk hubungan antar pribadi, dicirikan oleh sifat tidak responsif
pada orang; kurangnya kontak mata dan sifat responsif pada wajah, pengabaian
atau keengganan terhadapa kasih sayang dan kontak fisik. Pada awal masa
kanak-kanak, ada kegagalan untuk mengembangkan kerjasama dalam bermain dan
persahabatan.
b. kelainan pada komunikasi (verbal dan non
verbal), dicirikan oleh tidak adanya bahasa atau jika dikembangkan, sering
adanya struktur gramatik yang tidak matang, penggunaan kata-kata yang tidak
benar, ekolalia atau ketidakmampuan untuk menggunakan batasan-batasan abstrak.
Ekspresi non verbal yang menyertai bisa menjadi tidak sesuai atau tidak ada.
c. Respon-respon
kacau terhadap lingkungan, dicirikan oleh perlawanan atau reaksi-reaksi
perilaku yang ekstrem terhadap peristiwa-peristiwa kecil, kasih sayang yang
mengganggu pikiran yang tidak normal terhadap benda-benda aneh, perilaku -
perilaku yang ritualisitik.
d. Rasa tertari
yang ekstrem terhadap benda-benda yang bergerak (mis, kipas angin, kereta api).
Minat khusus terhadap musik, bermain-main dengan air, kancing atau bagian dari
tubuh.
e. Tuntutan
yang tidak beralasan terhadap keharusan untuk mengikuti kebiasaan sehari-hari
dengan rincian yang tepat (Misalnya : menuntut keharusan untuk selalu mengikuti
rute yang sama apabila pergi berbelanja).
f. Kesusahan
yang terlihat terhadap perubahan-perubahan pada aspek-aspek yang sepele dari
lingkungan (misalnya : Apabila vas bunga dipindahkan dari tempat biasanya).
g. Gerakan-gerakan
tubuh stereotip (Misalnya : menjetik - jentikan tangan atau memilin - milin
tangan, berputar - putar, gerakan seluruh tubuh yang kompleks).
3.
pemeriksaan penunjang :
Darah, urine dan faeces untuk mengetahui
:
a.
Gangguan
pencernaan
b.
Jamur/parasit / bakteri di dalam usus
c.
Alergi
makanan
d.
Peptide /
morphin dalam urine
e.
Kelainan genetic
f.
Kerusakan
sel & pembuluh darah otak
g.
auto
imunitas
h.
Mineral
& logam berat (Pb, Cad, Hg, As, Ai)
3.2 Diagnosa dan Intervensi Keperawatan Umum
No.
|
Diagnosa
keperawatan
|
Tujuan dan
kriteria hasil
|
Intervensi
|
Rasional
|
1.
|
Kerusakan
Interaksi Sosial Berhubungan Dengan Gangguan konsep diri
|
Tujuan:
Jangka
pendek
Pasien
akan mendemonstrasikan kepercayaan pada seorang pemberi perawatan
Jangka
panjang
Pasien
akan memulai interaksi-interaksi sosial (fisik, verbal, nonverbal) dengan
pemberi perawatan saat pulang
Kriteria
hasil :
Menunjukan partisipasi bermain ( 4 )
Menunjukan keterampilan interaksi sosial ( 3 )
Menunjukan perkembangan anak(3)
Menunjukan keterlibatan sosial(3)
|
Kaji
pola interaksi antara pasien dan orang lain
Berikan informasi tentang sumber-sumber dikomunitas
Berikan anak benda-benda yang dikenal (misalnya mainan kesukaan
Sampaikan sikap yang hangat,dukungan,dan kebersediaan ketika pasien berusaha
untuk memenuhi kbutuhan-kebutuhandasarnya.
Muai dengan penguatan yang positif pada kontak mata ,perkenalkan secara
berangsung-angsur dengan sentuhan,pelukan .
|
Mengetahui pola interaksi agar dapat memberikan intervensi yang tepat
Membantu pasien atau meningkatkan interaksi sosial setelah pemulangan
Benda-benda ini memberikan rasa aman dalam waktu-waktu aman bila anak merasa
distres
Karakteristik-karakteristik ini meningkatkan pembentukan dan mempertahankan
hubungan saling mempercayai
Pasien autistik dapat merasa terancam oleh suatu rangsangan yang gencar pada
pasien tidak terbiasa
|
2.
|
Kerusakan komunkasi
verbal berhubungan dengan Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
|
Tujuan :
Jangka
pendek
Pasien
akan membentuk kepercayaan dengan seoran pemberi perawatan
Jangka
panjang
Pasien
telah membuat cara-cara untuk mengkomunikasikan (secara verbal dan non verbal
) kebutuhan-kebutuhan dan keinginan – keinginan kepada staf dengan
pelaksanaan
Kriteria
hasil :
Pasien dapat menunjukan kemampuan komunikasi (3)
|
Kaji dan dokumentasikan tentang pasien menyangkut komunikasi
Instruksikan kepada pasien dn keluarga tentang penggunaan alat bantu bicara
Gunakan posisi berhadapan ,bertatapan,untuk menyampaikan ekspresi-ekspresi
non verbal yang benar
Berikan perawatan dalam sikap yang rileks tidak terburu-buru,dan tidak
menghakimi.
|
Mengetahui komunikasi yang digunakan oleh pasien
Memudahkan pasien untuk menyampaikan komunikasinya
Kontak mata mengekspresikan minat yang murni terhadap dan hormat kepada
seseorang
Memahami tindakan dan komunikasi pasien serta dapat melakukan perawatan
secara efktif
|
3.
|
gangguan indentitas
pribadi berhubungan dengan Stimulasi sensorik yang tidak sesuai
|
Tujuan :
Jangka
pendek
Pasien
akan menyebutkan bagian-bagian tubuh diri sendiri dan bagian-bagian tubuh
dari pemberi perawatan
Jangka
panjang
Pasien
akan membentuk identitas ego ( ditunjukan oleh kemampuan untuk
mengenali fisik dan emosi diri terpisah dari orang lain ) saat pulang.
Kriteria
hasil :
Menunjukan identitas dengan mengungkapkan penguatan identitas pribadi (3)
|
Bantu anak dalam menyebutkan bagian-bagian tubuhnya
Tingkatkan kontak fisik secara tahap demi tahap menggunakan sntuhan sampai
kepercayaan anak telah terbentuk
Beritahu orang tua tentang pentingnya perhatian dan dukungan mereka terhadap
konsep diri yang positif pada perkembangan anaknya
|
Kegiatan ini dapat meningkatkan kewaspadaan anak terhadap diri sebagai
sesuatu yang terpisah dari orang lain
Agar tidak dapat diinterprestasikan sebagai suatu ancaman oleh pasien
Dapat meningkatkan pencapaian harga diri
|
4.
|
Resiko
tinggi terhadap mutilasi diri berhubungan dengan reaksi-reaksi yang histeris
terhadap perubahan-perubahan pada lingkungan
|
Tujuan:
Sasaran
Jangka Pendek
Pasien
tampak tenang, mendemonstrasikan perilaku - perilaku alternatif (misalnya :
memulai interaksi antara diri dengan perawat) sebagai respon terhadap
kecemasan.
Sasaran
Jangka Panjang
Pasien
tidak akan melukai diri
Kriteria
Hasil :
Menunjukan
penahanan mutilasi diri dengan mencari bantuan ketika ingin merasa mecederai
diri ,tidak membawa peralatan untuk mencederai diri
|
Kaji respon pasien terhadap lingkungan untuk menentukan jika ada stresor yang
dapat menyebabkan tindakan mencederai diri
Tindakan untuk melindungi anak apabila perilaku-perilaku mutilatif diri,
seperti mamukul-mukul/membentur-benturkan kepala atau perilaku-perilaku
histeris lainnya menjadi nyata
Gunakan
alat-alat protektif untuk mencegah tindakan mencederai diri
Bekerja pada dasar satu perawat untuk satu anak
Tawarkan diri kepada anak selama waktu-waktu meningkatnya ansietas
|
Mengurangi terjadinya tindakan mencederai diri
Perawat bertanggung jawab untuk menjamin keselamatan pasien
melindungi terhadap tindakan memukul-mukul kepala, sarung tangan untuk
mencegah menarik-narik rambut, dan pemberian bantalan yang sesuai untuk
melindungi ekstremitas terluka selama terjadinya gerakan-gerakan histeris.
Untuk membentuk kepercayaan
Dapat menurunkan kebutuhan pada perilaku-prilaku mutilasi diri dan memberikan
rasa aman
|
BAB IV
KESIMPULAN
4.1Kesimpulan
Autisme
adalah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi social serta
mengalami gangguan sensoris,pola bermain dan emosi. Penyebabnya karena antar
jaringan otak tidak sinkron. Ada yang maju pesat, sedangkan yang lainnya
biasa-biasa saja. Penyebab autisme sangat kompleks, tak lepas dari factor genetika
dan lingkungan social.
Terapi
penyembuhan yang diterapkan dilakukan dengan berbagai varian tehnik,
diantaranya tehnik belajar dan bermain yang dapat dilakukan secara vebal maupun
non verbal, dengan melibatkan orang tua dan ada juga yang tidak.
Inti dari
sejumlah terapi tersebut dimaksudkan untuk mengeliminir berbagai symptom yang
diperlihatkan oleh seorang anak autisme yang tentunya dapat disesuaikan dengan
kebutuhan dan tingkatan sindrom yang disandang anak.
Autisme masa
kanak kanak adalah gangguan perkembangan yg sangat kompleks. Prevalensi masih
sedang meningkat dgn pesat, Timbulnya gejala seringkali dicetuskan oleh
penyebab organ biologis. Para Profesional harus meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan supaya dapat bekerja samamelakukan pengobatan yg tepat dan
terpadu.
DAFTAR PUSTAKA
Sacharin,
r.m.1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik Edisi 2. EGC: Jakarta
Staf
Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. 1985. Ilmu kesehatan anak volume 3.
FKUI : Jakarta.
Mary. C.T.
1998. Buku saku diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri.
EGC : Jakarta.
Maramis, W.F. 2005. Catatan ilmu kedokteran
jiwa. Airlangga : Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar